Senin, 10 Agustus 2009

Tradisi Bahari Sulawesi Selatan

oleh: Subarman
Pengantar
Premis Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis (2006) tentang nenek moyang Bugis sebagai seorang petani, telah memberi perspektif baru sekaligus meruntuhkan kuatnya keyakinan yang mengakar dalam orang Bugis, bahwa nenek moyang mereka adalah seorang pelaut ulung. Pelaut ulung yang diasosiasikan dengan Pasompe, yang secara terminologi berarti orang yang melakukan pelayaran, sedangkan kesimpulan umum diartikan sebagai saudagar laut. Menurut Pelras, tradisi pelaut orang-orang Bugis tidak lebih dari sekadar refleksi dari tuntutan survival hidup. Orang Bugis melakukan pelayaran bukan untuk berdagang, akan tetapi untuk mencari lahan pertanian baru dan kemudian mendirikan perkampungan. Hal ini dikaitkan dengan kecenderungan adanya kelompok-kelompok Bugis dalam jumlah yang relatif besar dan mengikatkan diri dalam sebuah kelompok perkampungan, yang dijumpai di beberapa tempat di antaranya; kepulauan Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan Malaysia dan Singapura.
Kejayaan tradisi bahari Bugis-Makassar dalam tinjauan historis tidak terlepas dari upaya hegemonik dan sangat rentan dengan dimensi politik. Kerajaan yang mampu menguasai laut, akan tampil sebagai penguasa dan pemegang kendali perekonomian. Kerajaan Gowa dan Bone yang pernah berjaya pada sekitar abad XV – XVI merupakan representasi kerajaan Sulawesi Selatan yang berorientasi pada tradisi kemaritiman, dengan mengoptimalkan fungsi pelabuhan laut sebagai sarana transportasi, sentra perdagangan, sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Tradisi bahari dalam masyarakat Bugis-Makassar telah berlangsung sejak jaman kerajaan. Bahkan dalam naskah kuno La Galigo, disebutkan bahwa tradisi bahari telah dimulai jauh sebelumnya. Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan peradaban, serta berubahnya orientasi pemegang otoritas negara, menyebabkan tradisi bahari menjadi semacam cerita kuno yang tidak lagi mampu teraktualkan dalam konteks kekinian. Kejayaan tradisi bahari yang pernah tercipta pada jaman kerajaan hingga jaman Hindia Belanda, menjadi oase di tengah keterpurukan kondisi perekonomian masyarakat pesisir/nelayan. Masyarakat nelayan hanya menjadi buruh yang setiap hari dituntut memperoleh hasil tangkapan ikan tanpa berhak menentukan (nilai) pasar untuk komoditi hasil keringat mereka sendiri. Mereka tidak dapat menentukan harga, termasuk apabila mereka mendapatkan hasil yang melimpah. Hal lain yang cukup signifikan adalah berkurangnya daya saing alat produksi serta mulai menipisnya sumber daya alam.
Rapuhnya tradisi bahari juga ditandai dengan kurangnya perhatian negara terhadap batas-batas teritori laut dan pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Kasus Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional, serta kasus Blok Ambalat yang hingga sekarang masih menjadi sengketa, memberi warning kepada kita, bahwa ancaman terhadap integritas negara telah menjadi nyata, akibat kelalaian kita dalam memelihara dan menjaga aset dan kekayaan negeri kepulauan yang bernama Indonesia.

Kejayaan dan Tradisi Bahari
Banyak pendapat skeptis bahwa jiwa pelaut Sulawesi Selatan sudah pudar atau mati, bahkan nelayan yang handal tidak pernah ada, yang ada hanya Pasompe atau yang akrab dikenal sebagai saudagar laut.
Mukhlis dalam “Upaya Memahami Kebudayaan Maritim” (1994) menguraikan bahwa sebelum tahun 1500 telah berdiri tiga dinasti pemerintahan yang berbasis maritim, yaitu Luwu, Tompotikka dan Weweng Riu. Namun, dalam perkembangannya, di penghujung abad ke-15, dinasti yang berbasis maritim tersebut runtuh dan digantikan dengan pemerintahan yang berbasis agraris.
Meskipun demikian, kerajaan Gowa yang mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-16, mengeluarkan kebijakan yang berorientasi maritim, di antaranya :
(1) mengatur dan menguasai produksi pertanian dan hasil-hasil hutan di pedalaman untuk komoditi perdagangan maritim;
(2) penguasaan jalur pelayaran di bagian timur Nusantara dan menjadikan Somba Opu sebagai tempat pelabuhan transito utama bagi perdagangan rempah-rempah dari Maluku;
(3) menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan luar;
(4) membangun angkatan perang dan benteng perhanan;
(5) meningkatkan hasil perdagangan dengan membangun jaringan perdagangan yang dikontrol dengan ketat; dan
(6) membangun sistem birokrasi yang menunjang kegiatan sosial ekonomi dan politik.
Kebijakan kerajaan Gowa yang berbasis maritim tersebut membuka alternatif baru dalam peta pelayaran dan perdagangan dunia. Setelah Malaka direbut oleh Portugis, praktis mempengaruhi pola perdagangan yang berkorelasi signifikan dengan konstalasi politik internasional. Hadirnya pelabuhan Makassar sebagai sentra baru bagi para pedagang internasional didukung oleh kompleksitas tatanan dan proses dinamika kehidupan politik ekonomi dan sosial budaya kemaritiman, yang menurut Mukhlis, terdiri dari tiga tradisi budaya maritim, yakni :
(1) tradisi yang diwakili oleh para bangsawan (elit birokrasi);
(2) masyarakat marginal (orang kaya, ponggawa); dan
(3) para penduduk pinggiran (tupabbiring).
Tiga golongan ini merupakan pendukung utama tradisi maritim, suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Namun kebijakan orientasi maritim yang tidak didukung dengan infrastruktur militer, hanya menunggu waktu menuju titik kehancuran. Di tengah geliat persaingan negara-negara koloni melakukan ekspansi Makassar akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Hanya kurang lebih seabad dalam kejayaannya, pada pertengahan abad ke-17 (1667 M), Makassar ditaklukkan oleh Belanda, yang secara politis dan ekonomis sangat mempengaruhi tradisi bahari Makassar.
Jaringan internasional yang telah dibangun tersebut, dibatasi dengan ketat, bahkan dilarang. Monopoli yang diterapkan Belanda telah berimplikasi menurunnya aktivitas perdagangan dan pelayaran di pelabuhan Makassar. Bahkan Gubernur penguasa Makassar pada saat itu mengeluarkan kebijakan larangan berlayar dan mencari ikan terhadap masyarakat, dan mengubah orientasi pencahariannya pada lahan pertanian. Kebijakan kontroversial ini menimbulkan social shock, dan pada akhirnya memberi kontribusi bagi terciptanya kemiskinan kultural.

Kaum Migran yang Solid
Kekalahan kerajaan Gowa/Makassar memberi pengaruh bagi beralihnya jalur perdagangan ke penjuru barat semenanjung Melayu, Sumatera, terutama Kepulauan Riau dan Kalimantan dan ke arah selatan hingga perairan dan pantai utara Australia. Dalam tinjauan dinamika tradisi internal (Sulawesi Selatan), terjadi transformasi budaya yang fundamental. Kerajaan Bone yang berkoalisi dengan Belanda dalam perang melawan Gowa telah menyudutkan Wajo yang memilih posisi netral, namun dianggap berkhianat oleh kerajaan-kerajaan Bugis (Bone). Wajo akhirnya mengkompensasi kekalahannya dengan memusatkan energinya pada aktivitas perdagangan.
Pada era ini, kelompok-kelompok migran bugis mulai bergerak meninggalkan tanah kelahirannya menuju wilayah-wilayah yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik, wilayah-wilayah yang sebelumnya telah mereka singgahi pada saat mereka melakukan aktifitas pelayaran dan perdagangan. Migran-migran tersebut berlayar bersama keluarga dan selanjutnya membuka tradisi dan jaringan baru mendukung tradisi bahari yang kuat. Hingga abad ke-18, migran-migran Bugis tersebut menjadi kekuatan pendukung bagi kaum migran Bugis Makassar dalam membangun kekuatan baru sekaligus menorehkan sejarah menaklukkan Sultan Johor, serta membangun sistem kontrol terhadap pelabuhan-pelabuhan Melayu dan Selangor. Prestasi ini, bahkan dicapai di bawah kontrol dan hegemoni Belanda.
Berkali-kali Belanda berusaha ‘menyerang’ perekonomian kaum migran, namun mampu dimentahkan oleh kelompok-kelompok semi independen yang kadang-kadang cukup tersatukan oleh beberapa kesultanan kecil penguasa sepanjang pantai. Hingga pada tahun 1756, Migan Bugis menerapkan strategi gudang pasar (entrepot) di Riau, yang memungkinkan mereka menguasai persaingan pasar. Pada perkembangan selanjutnya, Riau menjadi pelabuhan yang telah ramai oleh para pedagang Cina, Inggris, Muangthai, dan pedagang-pedagang dari Jawa.
Keberhasilan kaum migran Bugis dalam menancapkan hegemoni mereka di negeri rantau, ternyata tidak berlangsung lama. Pada tahun 1784, Belanda memaksa orang-orang Bugis meninggalkan Riau sebagai pusat dagang dan kekuatan perangnya. Namun revolusi Perancis (1789) yang mempengaruhi konstalasi politik yang luas, membawa implikasi beralihnya hegemoni kekuatan politik di Asia Tenggara, termasuk Riau, di bawah kendali Inggris.
Inggris yang memiliki tradisi dan kekuatan maritim yang besar, akhirnya berhasil merebut Selat Malaka yang memiliki posisi strategis dalam peta pelayaran dan geopolitik internasional. Selat Malaka dipilih oleh Inggris sebagai pusat koloninya di Asia Tenggara dan selanjutnya menerapkan kebijakan dagang terbuka, memberi efek bagi berlangsungnya aktivitas perdagangan yang kondusif bagi kaum migran Bugis. Menurut Hooridge dalam “The Lambo or Prahu Bot” (1979), di abad ke-19 perahu-perahu dagang Bugis meningkat pesat dan tersebar di semua daerah pemukiman dagang Bugis. Migran Bugis muncul sebagai kekuatan dagang besar yang mampu mengimbangi kekuatan Cina di Asia Tenggara. Rentangan sejarah migran Bugis dalam membangun kekuatan dagang tersebut terus berlanjut hingga proklamasi kemerdekaan.

Fluktuasi Budaya Bahari Setelah Kemerdekaan
Tradisi berlayar pelaut Bugis tetap memerankan posisi yang strategis dalam pelayaran tradisional di Indonesia. Hal ini terutama didukung oleh kuatnya jaringan-jaringan yang selama berabad-abad telah terbentuk dan mengakar. Setelah proklamasi kemerdekaan, perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang signifikan. Perubahan signifikan nampak pada mulai diperkenalkannya jenis Lambo yang menurut Hoordige menyerupai bentuk sekoci, bergaya Inggris. Juga dikenal konstruksi Nade (layar dan tali-temali) sekitar tahun 1920 untuk memenuhi kebutuhan akan perahu dengan laju cepat, ketika pertama kali dibawa ke Indonesia melalui jalur Singapura oleh perusahaan-perusahaan Bugis dan dari Hongkong oleh anggota klub lomba perahu Belanda yang kaya di Batavia.
Berbeda dengan masa kejayaan kerajaan, perusahaan nasional dan swasta tidak lagi menjadi motor penggerak dan penyambung antara perikanan rakyat dan pemerintah seperti halnya yang pernah diterapkan oleh birokrasi kerajaan Gowa. Birokrasi hadir hanya sebagai penagih pajak (bea cukai), sehingga terkadang dengan alasan besarnya jumlah pajak dan komplitnya pengurusan administrasi, menjadi penyebab suburnya aktivitas penyelundupan.
Matinya tradisi bahari adalah akumulasi dari ketidakkonsistenan pemerintah dalam memberdayakan potensi kemaritiman. Pendekatan pembangunan yang tidak berpijak pada akar budaya maritim, mengakibatkan hilangnya potensi maritim yang pernah dimiliki. Ketidakmampuan melakukan eksplorasi dan penetrasi daerah-daerah baru secara signifikan memengaruhi berkurangnya produksi, akibat pengerukan yang tidak terkontrol. Sementara, desain pola kebijakan pemerintah masih belum menunjukkan keberpihakan terhadap dukungan untuk membangun masyarakat bahari. Selain itu, demi menjaga integritas sebagai negara kepulauan, dibutuhkan political wil dari pemerintah yang mengarah pada peningkatan pertahanan kemaritiman yang secara sinergis akan melakukan pengawasan dan pengoptimalan potensi, serta observasi wilayah (pulau) baru yang belum terjamah, demi menghindari terulangnya sengketa wilayah perbatasan yang akhirnya akan merugikan negara secara materil, sekaligus menjadi ancaman bagi kedaulatan negara.

2 komentar:

  1. Artikel ini sangat membantu saya dalam MKU Wawasan Sosial Budaya Bahari

    BalasHapus
  2. terima kasih, semoga ke depan bisa berbagi dgn referensi dan diskusi-diskusi salin mengisi

    BalasHapus