Sabtu, 08 Agustus 2009

?Pengadilan Publik? untuk Sastra Amoral

Mungkin para sastrawan dan seniman kita tidak menyadari atau pura-pura tidak tahu, dan kemudian tidak memedulikannya, bahwa mereka memiliki power, kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat. Posisi mereka pada ranah sosial memang bukan pengkhotbah, yang serta merta harus selalu benar, dan bukan pula sebagai seorang moralis yang paham kaidah baik-buruk, benar-salah. Kekuatan sastra untuk mempengaruhi massa menjadikan sastrawan diposisikan sebagai publik figur. Ia bisa diidolakan berkat kemampuannya menghasilkan sebuah karya.
Karya sastra dapat menjadi cerminan secara utuh dari suatu kebudayaan di era tertentu dari suatu bangsa. Sastra menjadi salah satu tolokukur perkembangan nilai budaya suatu masyarakat. Tingginya nilai karya seni sastra diukur dari sejauhmana ia mampu mengapresiasi pada ranah publik, tentu dengan tetap menciptakan racikan kreasi baru yang orisinil.
Hukum alam telah menetapkan bahwa apapun yang dilakukan seorang individu, mutlak ia akan dihadapkan pada ?pengadilan publik? yang bernama agama, moralitas, hukum normatif dan budaya. Sehingga, karya sastra, suka atau tidak suka, mutlak harus mampu melewati ?pengadilan publik? sebagai sebuah proses menuju pengakuan sosial. Dengan demikian sastrawan yang didaulat sebagai publik figur senantiasa menjadi sorotan publik. Bukan hanya sebatas karya, lebih dari itu, publik akan menelusuri warna kehidupan (life style) untuk kemudian dijadikannya sebagai salah satu panutan dan gaya melakoni hidup.
Saya tergelitik dan terkesima membaca artikel Richard Oh (Kompas,8/5/2005) Menurutnya, ?Persoalan moralitas sangat berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka. Yang didasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tapi capaian orginilitas dalam suara, visi atau estetika.? Sebegitu agungnyakah nilai orginilitas-estetika, sehingga ia dibenarkan melabrak nilai yang justru timbul dari akar kualitas sebuah tatanan masyarakat?
Bagaiamana masyarakat kita menilai aksi panggung grup band mancanegara (Green Day atau Red Hot Chili Peppers, untuk mengangkatnya sebagai sebuah contoh kasus) yang dengan alasan ekspresi kebebasan seni mereka tampil tanpa busana (telanjang bulat), yang bahkan diakhiri dengan perusakan peralatan musik dan panggung.
#
Lantas, apakah nilai moralitas itu dapat mengadili sastra? Dan mengapa sastra mesti teradili oleh moralitas? Tentu saja pertanyaan ini akan menelurkan kontroversi, pertama, jika para penggiat sastra menginginkan kebebasan berekspresi, mengaktualkan imajinasi dalam penciptaan karyanya yang bernilai erotis tinggi atas nama seni adalah wajar. Atas nama orsinilitas, mereka lalu memilih tema ?seks? untuk dieksplor ataupun mengangkat tema sadisme (violence) ke dalam karyanya.
Di lain pihak, publik sebagai subyek penikmat seni tentu akan melakukan sebuah proses pengapresiasian berdasarkan daya akses dan kemampuan membaca ?teks? dan kemudian melakukan proses perifikasi (pengadilan publik) dengan menggunakan perangkat-perangkat budaya, agama, hukum normatif dan moralitas yang mereka pegang.
Kedua, jika para sastrawan secara totalitas ingin berkarya tanpa ada batasan moralitas, petuah agama dan dogma-dogma budaya, rasanya, tidak perlu mereka mengaktualisasikan karyanya kepada khalayak. Cukup sastra untuk sastrawan. Tidak perlu lagi ada publikasi apalagi komersialisasi karya pada publik yang punya parameter tersendiri dalam menilai sebuah karya sastra.
Ketiga, sastrawan yang tetap tak mengindahkan ?pengadilan publik? (sastra bebas nilai) pada akhirnya akan berhadapan dengan mereka yang menganggap diri sebagai moralis. Dengan demikian, masing-masing (moralis dan sastrawan) akan berdiri pada qutub ekstrim yang mustahil disatukan jika tidak dibangun upaya komunikasi yang simestris.
Selanjutnya, muncul pertanyaan: bagaimana para moralis mampu memahami bahasa sastra? Bagaimana para sastrawan mampu mengaktualkan imajinasinya tanpa berbenturan dengan dogma-dogma para moralis?
Jika pertanyaan ini tidak terjawab, pertarungan kedua qutub tersebut menjadi abadi. Sebab, sebuah karya tidak hanya harus mampu terbaca oleh publik, akan tetapi sebuah karya terus menerus berproses menuju pengakuan sosial dengan melewati hukum alam yang bernama moralitas, agama dan budaya. Jika tidak, sebuah karya sastra, hanya layak berada di laci meja, di bawah bantal imajinasi atau hanya mampu menari-nari dalam kepala sang sastrawan. Kita tentu tidak ingin melihat pertentangan abadi antara sastrawan dan moralis. (tapi, jangan-jangan keduanya memang ditakdirkan bertarung seumur hidup!)
Mari kita cermati secara obyektif pertarungan moralis dengan ?sastrawan amoral?. Apa esensi dari kekurangharmonisan hubungan keduanya? Mari kita menelaah dengan cermat dan sistematis. Pertama, karya sastra (seni) tidak mungkin dapat diartikan secara tekstual atau letter let (tidak terkecuali aliran realis) karya sastra dari kelas dan aliran manapun tentu akan melahirkan penafsiran yang berbeda dari publik berdasarkan daya akses, tingkat pengetahuan sastra mereka. Realitas inilah yang akan menimbulkan kontroversi sebuah karya sastra. Sastra yang telah sampai pada tangan pembacanya akan berubah bentuk berdasarkan tingkat penafsiran dan gaya apresiasi penikmat seni.
Kedua, eksklusifitas sastra. Rendahnya kualitas pendidikan sastra dan ketidakmampuannya melakukan proses komunikasi (sastrawan dan sastranya) dengan publik. Akhirnya, dunia sastra menjadi terisolasi, termajinalkan, teralienasi. Olehnya, dibutuhkan sebuah revitalisasi pendidikan sastra yang lebih humanis dan mampu menyentuh seluruh stratifikasi sosial. Dengan harapan, bahasa sastra dapat terbaca secara lebih luas dan terbuka, tidak eksklusif.
Dialog sastra diharapkan tidak hanya berlangsung di sekolah-sekolah formal, akan tetapi secara kultural, sastrawan dan karya sastranya harus berani ?turun gunung? berkomunikasi tanpa sekat. Sehingga, karya sastra tidak lagi dicap sebagai sesuatu yang eksklusif, mahal, dan berkelas.
Ketiga, efek penafsiran (pembacaan) dan bentuk apresiasi bagi publik. Apakah dari pembacaan sastra bagi publik akan menimbulkan inspirasi untuk melakukan tindakan kekerasan? Apakah dari hasil penafsiran sastra, menjadi salah satu indikasi meningkatnya tindakan kriminalitas? Mari kita renungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar