Sabtu, 08 Agustus 2009

Mengabaikan tetangga berarti memberi peluang bagi teroris

Saat ini, kita bisa bernafas lega, setidaknya dengan tertembak matinya Noordin M Top (meskipun masih perlu pembuktian melalui tes DNA), oleh Densus 88 Polri. Namun hal ini bukan berarti habitat terrorist di Indonesia sudah benar-benar hancur. Masih banyak jaringan Noordi M Top yang berkeliaran membentuk sel baru yang jika diberi peluang untuk berkonsolidasi akan melahirkan terror baru.
Apakah jaringan terror di Indonesia tidak dapat benar-benar dibersihkan? Apakah ini mengindikasikan lemahnya sistem pertahanan Negara Indonesia? Dalam perspektif ini, tentu saja tidak sepenuhnya sistem pertahanan Negara menjadi elemen yang bertanggungjawab dengan berkembangnya jaringan terrorist. Sebab, defenisi dan bahkan sistem penanganannya telah menjadi isu internasional. Jadi masalah teroris adalah masa transnasional. Di sisi lain, dalam konteks lokal, tempat tumbuh dan berkembangnya jaringan teroris, Negara juga memiliki peran yang sangat strategis.
Mengapa jaringan teroris dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia? Mengapa ada orang Indonesia yang terekrut ke dalam jaringan teroris itu? Mengapa sampai ada orang Indonesia yang rela mati demi membunuh orang lain dan menghancurkan fasilitas umum? Lantas, dimana semangat kesetiakawanan, gotong royong, saling memaafkan, toleransi, dan kerukunan yang membesarkan bangsa ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang semestinya menyadarkan kita untuk kembali berintropeksi: apa yang telah kita lakukan untuk mengembalikan iklim bermasayarakat kita sehingga tercipta sebuah harmonisasi kehidupan yang rukun dan damai. Kita semua adalah sel yang bertanggungjawab dan berpotensi untuk menciptakan damai dan suasana penuh toleransi dan empati. Jika kepada tetangga saja kita tidak saling kenal dan merentang jarak, bisa jadi kita dengan tidak sadar memupuk tumbuhnya teroris di lingkungan sendiri.
Saat ini, memang tidak perlu lagi kita membicarakan apa itu teroris, bagaimana dia berkembang, siapa musuh mereka, dan siapa di balik jaringan teroris itu. Yang paling penting untuk kita kedepankan adalah: apa yang kita lakukan dengan segala potensi yang kita miliki untuk membuat hidup dan lingkungan kita menjadi rukun dan damai. Kita adalah duta untuk diri dan keluarga serta lingkungan kita untuk menebar senyum, menyuguhkan empati, menawarkan pertolongan, dan mendukung gotong royong.
Saat ini, apapun aktivitas dan bagaimanapun kesibukan kita, kita seharusnya punya waktu untuk mengetahui, mengajak bicara, mengenal lebih jauh, tetangga kita. Jadikanlah tetangga kita menjadi bagian dari keluarga yang setiap saat dapat kita mintai saran, pendapat, pertolongan, dan begitu juga sebaliknya. Dengan begitu, kita telah menjadi sel-sel positif yang akan menarik semua potensi-potensi positif dari alam semesta untuk bersatu mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Mari kita mulai hari ini dengan niat dan komitmen yang tulus untuk menghilangkan prasangka buruk. Kita adalah bagian dari yang lain, begitu juga sebaliknya. Karena itu, seseorang atau sebuah keluarga, tidak selayaknya (tidak semestinya) menderita kelaparan hingga mereka harus mengemis di jalanan, padahal tetangga mereka hidup berkecukupan. Sebuah keluarga juga tidak selayaknya dapat dengan tenang menikmati santapan lezat di rumahnya, tatkala masih ada tetangga mereka yang berpuasa karena tidak memiliki apa-apa untuk mereka makan.
Memerangi teroris tidak mesti dengan menebar terror dan menciptakan suasana mencekam. Senjata tidak perlu dihadapi dengan senjata. Sebab, senjata tidak membunuh orang, orang yang berada di balik senjata itulah yang membunuh orang. Terror adalah kata pasif yang akan menjadi kata kerja jika diberi imbuhan ‘me’ (meneror) atau diberi akhiran ‘is’ (teroris). Lupakanlah kata itu. Lihatlah orang-orang di sekeliling kita, mereka juga adalah bagian dari kita. Mereka juga memiliki keinginan-keinginan, mereka memiliki keluarga, mereka juga ingin diberi ruang, mereka juga butuh tempat untuk berdiri dan mengatakan apa sesungguhnya yang mereka harapkan dari Negara ini. Orang-orang di jalanan, di mall, di halte bus, pengendara mobil, motor, pejalan kaki, pemulung, pengemis, orang di kantoran yang berdasi, semua sama sebagai manusia. Yang membedakan hanyalah peran. Mari kita jalankan peran kita masing, sambil membuka mata dan telinga, bahwa orang lain juga sedang memerankan perannya untuk mewujudkan hidup yang lebih baik jika kita bisa saling berbagi, berkomunikasi, berempati dan saling membuka perspektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar