Rabu, 05 Agustus 2009

"Tentang Positivisme: Mempersoalkan realitas"

resensi buku
Judul Buku : Melampaui Positivisme dan Modernitas
Penulis : Fransisco Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius
Tahun : 2003
Halaman : 202


Sejak jaman pencerahan di Eropa abad XVII, lompatan-lompatan perubahan besar terjadi dimana-mana. Titik balik peradaban. Mulai dari revolusi politik (kekuasaan negara) hingga perubahan paradigma yang terjadi pada ranah ilmu pengetahun. Kekuasaan absolut negara mulai digugat. Peran dan fungsi gereja secara kritis dinilai tidak lagi murni sebagai wahana inisiasi religius dan “kesakralannya” yang menyimpan perselingkuhan antara agma dan kapitalisme. Bahkan di dunia ilmu pengetahuan, obyektivitas dan subyektivitas saling mengaburkan, di sisi lain dibekap oleh kekuasaan yang tiran.

Tapi dunia ilmu pengetahuan bukanlah dunia materi. Ilmu tidak tersentuh oleh senjata maupun jeruji besi. Ilmu pengetahuan bertahta dalam benak dan samudera yang luas di lubuk hati para pencari ilmu, wisdom. Ilmu memiliki dinamikanya sendiri. Ketika ia dibekap oleh penguasa dengan dalih stabilitas, daya kritis justru semakin kuat dalam melakukan perlawanan. Kita mengenal banyak pemikir besar yang justru lahir di dunia tiran dan menghasilkan maestro di dalam kerangkeng.

Paradigma ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan landasan atau pijakan dasar bagi semua cabang ilmu yang ada. Paradigma memberi tuntunan arah perkembangan ilmu pengetahuan melalui metode. Paradigma adalah filsafat, grand sience: positivisme, relativisme, modernisme dan posmodernisme?

“Mempersoalkan realitas” adalah akar dari filsafat, bahwa realitas adalah konstruksi atau rekonstruksi yang ada karena ada sebab, intervensi, pengakuan, atau karena adanya realitas lainnya. Ilmu bukanlah ilmu, namun ia adalah gejala, ia adalah realitas, antithesa, pencarian. Namun, bisa jadi ilmu akan menjadi “kebohongan yang disepakati” jika ia mendeklarasikan diri sebagai pemegang tahta kebenaran atau dijadikan sebagai tameng kekuasaan. Nafas ilmu adalah dialektika dan diskursus, bukan kemapanan.

“Modernisasi adalah westernisasi”. Terdengar sentimentil, namun, bagaimanapun, akar sejarah modernisasi lahir dan berkembang di dunia Barat. Modernisasi lahir untuk membebaskan (Hardiman, 2003:72). Sementara dunia ketiga, negara berkembang, seringkali menjadi konsumtif. Bahkan, terkadang sentimentil itu menjadi miris. Miris menyaksikan ketidakberdayaan kita menahan ekspansi Barat dalam segala hal, termasuk diskursus ilmu pengetahuan.

Sementara itu, positivisme yang mengikuti modernisme, berkembang menjadi sebuah kerangka besar pemikiran cendrung ekspansionis. “karena pendekatan ilmu-ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi, diyakini bahwa sukses yang sama juga akan diperoleh jika pendekatan yang sama diterapkan dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat” (Hardiman, 2003:22). Demikian alur sederhana bagaimana positivisme merambat ke ranah ilmu-ilmu sosial.

Selanjutnya, Hardiman menulis bahwa “positivisme melestarikan staus quo konfigurasi masyarakat yang ada, mengapa? Karena penelitian diarahkan pada keharusan memperoleh pengetahuan tentang das sein (apa yang ada) dan bukan tentang das sollen (apa yang seharusnya ada)” (Hardiman 2003: 24) Jika tidak berhati-hati, tampaknya, ilmu sejarah akan terjebak ke dalam paradigma positivisme dan tidak lagi mampu hadir sebagai sebuah ilmu yang mencerahkan, sebagai guru yang bijak. Penggunaan term hipotesis, adalah salah satu model kerangka positivis yang dapat menjebak sebuah penelitian sosial termasuk sejarah.

Menurut Hardiman, seorang peneliti sosial tak lebih dari seorang asing yang ingin memahami apa-apa yang ada dalam wilayah yang ingin ditelitinya. Karena itu, ia harus berbicara, bertanya, menanggapi, menyimpulkan, melihat perubahan air muka, menangkap perubahan-perubahan, mndengar pengalaman, dan mengikuti semua itu dengan kesadaran akan dirinya sendiri, dan seterusnya. (Hardiman, 2003: 29)

Interpretasi adalah salah satu tahapan dalam proses historiografi (sejarah) merupakan tahapan yang membutuhkan dukungan pemahaman mengenai kondisi budaya dan bahasa sebuah sumber. Dalam konsep hermeneutika, Hardiman mengemukakan bahwa untuk menafsirkan sebuah kata, tidak cukup hanya dengan mencari artinya di dalam kamus. Pengarang bisa jadi mempunyai pengandaian-pengandaian yang berbeda dari pengandaian kita sendiri, sehingga makna kata itu tidak seperti yang kita duga. Ada dua kemungkinan menurut Hardiman: kita berpegang pada pra-paham kita dan menolak pemahanan baru yang tak terduga; atau pertentangan antara pengandaian pengarang dan pengandaian kita itu justru memperkaya pemahaman kita. Dengan kata lain, perbenturan antara cakrawala pengarang dengan pemahaman kita bila dihadapi dengan sikap produktif, kreatif, dan terbuka justru akan memberi kita pengetahuan yang mengejutkan. (Hardiman, 2003: 48-49)

Buku ini sejatinya adalah sebuah perenungan bagi seorang yang memiliki kepedulian mengenai pentingnya proses dialektika (diskursus) dalam ilmu pengetahuan. Buku ini juga mengajak pembaca untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana mendekati fenomena sosial? Perbedaan fundamental ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-kemasyarakatan? Bagaimana mendasarkan pembedaan metodologis secara epistemologis? Apakah implikasi positivisme terhadap ilmu-ilmu sosial?

Buku yang ditulis oleh F.B.Hardiman yang berjudul “Melampaui Positivisme dan Modernitas” diterbitkan oleh Kanisius (2003) adalah sebuah karya yang sarat dengan nilai kritis terhadap kemapanan ilmu. Meskipun karya ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan sporadic, namun secara sistematis telah disusun menjadi sebuah kesatuan yang ajek. Buku ini terdiri dari tiga bagian:
Pertama, kritik terhadap Positivisme, diantaranya berisi posisi positivisme dalam dunia penelitian dan perannya (pengaruh) dalam dunia praksis (realitas). Bagian ini juga menguraikan problematika teks dan hermeneutika;
Kedua, modernitas dan kritik. Bagian ini terdiri dari lima subbab yang menguraikan dinamika, tradisi dan transformasi modernitas;
Ketiga, postmodernisme sebagai kritik. Bagian ini berisi kritik terhadap dan modernitas dan dilema yang menyertainya. Bagian akhir penulis membuat sebuah eksplanasi mengenai polemik moderisme dan postmodernisme, serta perlunya terus menerus belajar dalam dunia yang plural dengan jalan terus menerus melakukan komunikasi (dan berdemokrasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar