Kamis, 18 Maret 2010

kampungku: konsumerisme adalah membeli malu dan menjual kematian

Orang-orang berbelanja, mereka menghabiskan waktu untuk mendapatkan uang untuk membeli. Tapi, konsumerisme tidak hanya persoalan beli, konsumerisme adalah kematian insting dan lumpuhnya kesadaran alamiah manusia akan kodrat alam. Konsumerisme telah memotong tali jalinan kehidupan. Konsumerisme adalah menggadaikan kehidupan dengan keinginan-keinginan sumir yang menggelikan dan memalukan.
Kini kita hanya tahu kita ingin ikan tuna yang melebur dalam adonan pizza, tanpa merasa perlu tahu ikan itu adalah hasil tangkapan terakhir seorang nelayan yang tidak bisa lagi melaut karena harga solar yang melangit.

Tapi apa yang telah kita peroleh dari semua ini. Belanja sepanjang waktu dan kita hanya tahu nilai uang. Sementara kita menjual lingkungan dengan harga yang tidak ternilai, kita meggadaikan kehidupan alam semesta ini dengan keegoan kita oleh keinginan-keinginan yang memalukan. Kita memilih membeli air mineral kemasan seharga jutaan pohon yang menyimpan jutaan galon air kehidupan, dan taruhannya: banjir, badai, longsor dan kekeringan mengancam kehidupan kita, dan itu sudah terjadi dimana-mana.

Di rumah, sejak lahir bayi-bayi kita telah bersentuhan dengan watak konsumerisme karena ketidaksabaran kita. Karena kehabisan akal, maka tangisan lembut si bayi kita sumbat dengan dot berisi susu formula dari bahan kimia yang mengancam masa depan si bayi. Kita ingin melihat bayi itu lekas tumbuh tapi kita tidak ingin tangisannya mengganggu tidur malam kita. Kita tidak punya waktu untuk bermain bersama anak-anak, dan kita memilih plastik dan besi yang kaku menjadi teman bermain anak kita sepanjang waktu. Komunikasi kita tergantikan oleh plastik-plastik dengan beragam bentuk.

Di kampung, sepeda motor seperti mewabah. Semua seperti harus punya motor, meski harus memeras keringat dan menahan uang jajan dan buku anak sekolah untuk membayar cicilan motor. Mereka mencari uang untuk dealer-dealer motor atau perusahaan-perusahaan multifinance penyalur perkreditan. Tidak ada lagi jalanan hijau setapak menuju hamparan sawah dan pekebunan, semua jalanan melebar untuk dilalui motor.

Detak hidup di kampung meniru kehidupan kota. Sawah dikelola dengan mereduksi waktu oleh mesin traktor dan pestisida. Tidak ada lagi waktu senggang berkumpul di surau, pesta panen mappadekko, anak-anak tidak lagi main layangan di sela waktu panen dan sebelum masa tanam tiba. Tidak adalagi pemandangan bocah menendang bola di atas jerami di sawah-sawah kering. Tidak ada lagi waktu untuk menghela napas, segera setelah panen usai, petani bergegas mengairi sawah dan aktivitas bertani terus berlanjut tanpa merujuk musim. Tapi tidak lagi dengan sapi untuk membajak, melainkan dengan mesin-mesin traktor.

Musim tanam tiba tapi sepi. Tidak ada lagi tradisi menanam bersama yang ramai dan penuh gairah, gairah kehidupan pedesaan yang hijau, karena benih tidak lagi disemai.
“Dulu, aku selalu ikut menanam sepanjang musim tanam padi di hampir semua petak sawah di kampung ini, menjelang matahari di atas kepala, gadis-gadis manis berjalan melenggok di pematang membawakan penganan dan penghilang dahaga, sungguh, aku sangat merindukannya”.

Musim tanam tiba tapi sepi, karena benih tidak lagi disemai.

Orang-orang kampung itu hanya berpikir menyelamatkan tanaman padi mereka, tidak lagi punya waktu untuk sekadar bersandar di bawah pohon menikmati kepulan asap tembakau bersama yang lain membincang ternak, anak-anak mereka yang telah sekolah, atau hanya ingin merokok bersama. Mereka memburu waktu namun mereka kehilangan kesempatan untuk hidup alami sepeti dulu.

Sungguh, konsemerisme bukan lagi sekadar belanja dan uang. Konsumerisme adalah kebodohan kita yang rela membeli malu dan menjual kematian.